Prospek pembiayaan kembali (refinancing) utang pemerintah menghadapi tantangan berat dalam beberapa tahun ke depan. Di tengah kenaikan imbal hasil obligasi global dan tekanan suku bunga yang belum mereda, pemerintah harus menyiapkan strategi ekstra hati-hati untuk menghadapi tumpukan utang jatuh tempo yang mencapai sekitar Rp 4.000 triliun pada periode 2025–2029.
Data Kementerian Keuangan yang dihimpun menunjukkan bahwa pada 2025 saja, pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 800,33 triliun. Angka tersebut belum termasuk beban bunga utang yang mencapai Rp 552,85 triliun. Kondisi serupa akan berulang pada 2026, ketika pemerintah kembali perlu menarik pembiayaan baru sebesar Rp 781,87 triliun dan menyiapkan pembayaran bunga sekitar Rp 599,4 triliun.
Yield Global Naik, Pembiayaan Kian Mahal
Tekanan utama datang dari kondisi pasar global. Bank Indonesia (BI) mencatat total utang pemerintah dunia telah mencapai US$ 110,9 triliun atau 94,6% PDB global, dengan dua pertiga berasal dari negara-negara maju. Mellonjaknya utang dan defisit fiskal di negara-negara tersebut membuat imbal hasil obligasi mereka—khususnya tenor panjang—terus naik.
Imbasnya, biaya utang negara berkembang ikut terdorong naik. Dengan kompetisi likuiditas global yang semakin ketat, Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa biaya refinancing ke depan berpotensi semakin mahal.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengingatkan bahwa risiko fiskal global diperkirakan masih tinggi setidaknya hingga 2027. “Tingginya utang pemerintah dan suku bunga negara maju berdampak pada tingginya beban fiskal di negara-negara berkembang,” ujarnya.
Potensi Skenario Buruk: Fed Naik 50 bps
Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menyebut adanya risiko suku bunga global kembali naik apabila ekonomi dunia pulih lebih cepat. Dalam skenario tertentu, The Federal Reserve bahkan bisa menaikkan Fed Funds Rate hingga 50 basis poin.
Kenaikan 50 bps saja diperkirakan dapat menambah beban bunga utang Indonesia sekitar Rp 30 triliun pada 2026. “Kalau bunganya naik 50 bps, bunga utangnya bisa naik sekitar Rp 30 triliunan,” kata Myrdal.
Risiko ini menjadi penting karena pemerintah juga berencana menerbitkan SBN baru mencapai Rp 781,87 triliun pada 2026. Dengan asumsi kupon rata-rata 5%, bunga yang harus dibayar dari penerbitan tersebut diperkirakan sekitar Rp 39 triliun.
Refinancing dalam Tekanan
Tumpukan utang jatuh tempo yang besar, ditambah biaya pembiayaan yang meningkat, menempatkan strategi refinancing pemerintah pada posisi kritis. Pemerintah perlu memastikan penyerapan SBN tetap kuat di tengah volatilitas pasar global, sekaligus menjaga agar defisit APBN tetap terkendali.
Myrdal menilai tekanan bunga utang yang meningkat belum tentu memaksa pemerintah merevisi APBN, selama defisit fiskal tetap berada di bawah batas 3% sesuai undang-undang. Namun ia menegaskan perlunya strategi pembiayaan yang adaptif.
“Di tengah dinamika suku bunga global yang cepat berubah, ruang fiskal harus dijaga tetap aman. Strategi pembiayaan harus lebih berhati-hati dan fleksibel,” ujarnya.
Manuver Fiskal Jadi Kunci
Meski tekanan global cukup besar, BI menilai fundamental Indonesia masih solid. Koordinasi kebijakan antara pemerintah dan otoritas moneter menjadi kunci untuk melewati masa-masa refinancing yang berat ini.
Dengan utang jatuh tempo jumbo dan biaya pendanaan yang semakin mahal, tantangan pemerintah ke depan bukan hanya memastikan pembiayaan berjalan lancar, tetapi juga menjaga stabilitas fiskal agar tidak terganggu oleh badai suku bunga global.(Bloomberg/mer)

