
Di balik meja-meja senyap,
terduduk jiwa-jiwa terang
yang disuruh diam,
yang disuruh patuh,
meski api dalam dada mereka
menyala tanpa disuruh.
Mereka datang dengan gagasan,
dengan langkah dan harapan,
tapi yang duduk di atas tak melihat,
atau memilih tak peduli,
karena lebih nyaman dalam
keputusan yang tidak mengusik kursi.
Mereka adalah kemungkinan yang diabaikan,
batu permata di tanah becek,
yang tak diberi ruang bersinar,
karena pemimpin lebih sibuk
menyeka kaca cerminnya
daripada membuka jendela dunia.
Dan inilah kebodohan yang nyata:
bukan karena tak tahu,
tapi karena menutup telinga
terhadap yang bisa lebih tahu.
Karena merasa tak tergantikan,
lalu menenggelamkan kapal penuh penumpang.
Lihatlah,
bukan musuh yang menghancurkan,
tapi tangan sendiri yang mengabaikan,
mereka yang seharusnya
jadi nafas, jadi arah,
dijadikan bayangan di lorong panjang
tanpa ujung—dan tanpa suara.
13 thoughts on ““Disia-siakan” – Oleh: Hendri Kremer”