
Diam…
ia tak berbicara,
namun selalu berkata.
Di ujung meja kusam,
di pojok kamar redup,
ia duduk, tanpa keluh, tanpa tuntut.
Sebuah benda biasa,
namun tiap aku menatapnya—aku pulang pada tanya.
Siapa aku?
Aku yang bersuara keras tapi cepat lupa.
Sementara dia,
tak pernah bicara,
tapi menyimpan segala luka dan cerita.
Kenapa ia hidup?
Bukan karena ia bergerak,
tapi karena ia diam,
dan diam itu menghidupkan rasa.
Seperti bayangan pada cahaya,
seperti sisa kopi di cangkir senja,
ia menyimpan kenangan,
dan menjadi saksi keheningan yang lebih jujur dari lisan.
Mungkin ia tak punya nama,
tapi ia adalah waktu.
Ia adalah saksi—yang tak pernah menilai,
yang hanya diam,
dan dalam diamnya, aku tahu:
akulah yang harus berubah,
akulah yang harus mendengar.
13 thoughts on ““Diam” – Oleh: Hendri Kremer”